Kamis, 29 Oktober 2009

Sudjiono Timan
Sudjiono Timan (lahir di Jakarta, 9 Mei 1959; umur 50 tahun) adalah seorang pengusaha asal Indonesia. Dari tahun 1995 hingga 1997 ia menjabat sebagai Direktur Utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Ia saat ini merupakan seorang buronan karena melarikan diri dari hukuman pengadilan. Oleh pengadilan, Timan telah diputuskan bersalah karena telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai direktur utama BPUI dengan cara memberikan pinjaman kepada Festival Company Inc. sebesar 67 juta dolar AS, Penta Investment Ltd sebesar 19 juta dolar AS, KAFL sebesar 34 juta dolar AS, dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp 98,7 miliar sehingga negara mengalami kerugian keuangan sekitar 120 juta dolar AS dan Rp 98,7 miliar.
Pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Timan dibebaskan dari tuntutan hukum karena perbuatannya dinilai bukan tindak pidana. Menanggapi vonis bebas itu, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi dan meminta Majelis Kasasi menjatuhkan pidana sebagaimana tuntutan terhadap terdakwa yaitu pidana delapan tahun penjara, denda Rp30 juta subsider enam bulan kurungan, serta membayar uang pengganti Rp1 triliun.
Pada Jumat, 3 Desember 2004, Majelis Kasasi Mahkamah Agung (MA) yang dipimpin oleh Ketua MA Bagir Manan memvonis Sudjiono Timan dengan hukuman 15 tahun penjara, denda Rp50 juta, dan membayar uang pengganti sebesar Rp 369 miliar.
Namun, saat Kejaksaan hendak mengeksekusi Sudjiono Timan pada Selasa, 7 Desember 2004, yang bersangkutan sudah tidak ditemukan pada dua alamat yang dituju rumah di Jalan Prapanca No. 3/P.1, Jakarta Selatan maupun rumah di Jalan Diponegoro No. 46, Jakarta Pusat dan dinyatakan buron dengan status telah dicekal ke luar negeri oleh Departemen Hukum dan HAM.
Pada 17 Oktober 2006, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mulai menyebarkan foto dan datanya ke masyarakat melalui televisi dan media massa sebagai salah satu 14 koruptor buron yang sedang dicari.

Anak Atang Latief Jadi Buronan Mabes Polri
Jumat, 9 Mei 2008 17:12 WIB Peristiwa Dibaca 237 kali
Jakarta (ANTARA News) - Anak konglomerat Atang Latief bernama Husni Mochtar kini menjadi buronan Direktorat Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Polri terkait kasus penggelapan aset Atang Latief sebesar Rp45 miliar."Husni Latief menjadi buronan karena ia kabur ketika hendak diserahkan ke jaksa penuntut umum setelah berkasnya dinyatakan lengkap," kata Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komjen Pol Bambang Hendarso Danuri kepada ANTARA News di Jakarta, Jumat.Ia mengatakan, Polri terus memburu Husni hingga tertangkap.Pengacara Atang Latief, Sugeng Teguh Santoso menambahkan, Husni kabur pada pertengahan 2007 ketika dipanggil Mabes Polri untuk dibawa ke Kejati DKI Jakarta."Husni bisa kabur ke luar negeri karena ia tidak dicekal. Saya juga heran mengapa Mabes Polri tidak mencekalnya," katanya.Sugeng menyesalkan Polri yang memberikan penangguhan penahanan kepada Husni yang berakibat pada kaburnya tersangka ini."Husni pernah ditahan lalu dilepaskan dan sekarang kabur betulan," ujarnya.Sebelumnya, konglomerat yang juga debitur BLBI, Atang Latief melaporkan anaknya Husni Moctar ke Mabes Polri, 26 Januari 2006 atas tuduhan penggelapan asset pribadi sebesar Rp45 miliar.Atang menyerahkan aset itu kepada Husni untuk dipakai membayar utang kepada pemerintah namun digelapkan dan dijadikan aset pribadi.Dalam kasus ini Atang juga melaporkan anaknya lagi, Lisa Mochtar atas tuduhan penggelapan asetnya Rp100 miliar namun kasusnya masih mengendap di Mabes Polri.Sugeng Teguh malah menduga, Mabes Polri akan memeti-eskan kasus Lisa Mochtar."Sampai sekarang laporan terhadap Lisa belum ada tindak lanjut dari kepolisian," ujarnya.
Kejagung Akui Tunggakan Syamsul Nursalim Rp4,758 Triliun
Jumat, 4 September 2009 15:57 WIB Peristiwa Hukum/Kriminal Dibaca 475 kali
Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung mengakui bahwa Syamsul Nursalim, obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), masih memiliki tunggakan (wanprestasi) sebesar Rp4,758 triliun."Ternyata terdapat perbuatan perdata, yaitu wanprestasi yang dilakukan oleh Syamsul Nursalim terhadap pemerintah dalam hal ini BPPN, cq sekarang Menteri Keuangan, sebesar 4,758 triliun," kata Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), Edwin Pamimpin Situmorang, di Jakarta, Jumat.Masih adanya utang bos Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), Syamsul Nusalim, terungkap dalam persidangan Jaksa Urip Tri Gunawan terkait kasus suap dari Artalyta Suryani alias Ayin sebesar 660 ribu dollar AS, di Pengadilan Tipikor pada Mei 2008.Majelis hakim menyatakan pemilik BDNI itu masih berutang Rp4,76 triliun, dan seharusnya mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Kemas Yahya Rahman, mengumumkan wanprestasi Syamsul Nursalim tersebut, tapi tidak ia lakukan. Akibatnya, Kemas Yahya Rahman dan M Salim (mantan Dirdik), serta Jamdatun--saat itu--Untung Udji Santoso, dicopot dari jabatannya.Jamdatun menyatakan jaksa agung telah memberikan pendapat hukum pada menteri keuangan (menkeu) terkait masalah tersebut, dalam hukum perdata ada wanprestasi. "Dan bisa dilakukan gugatan hukum perdata," katanya. Dikatakan, kejaksaan saat ini menunggu menkeu untuk mengeluarkan Surat Kuasa Khusus (SKK) untuk menggugat Syamsul Nursalim."Kalau menkeu sependapat dan keluarkan SKK, maka tentu kita akan lakukan acara perdata, dimulai dengan somasi," katanya.Kasus itu terjadi pada 1997, saat Bank Indonesia (BI) mengucurkan kredit kepada PT BDNI sebesar Rp37,039 triliun dan sebagai pemegang saham pengendali (PSP) adalah Syamsul Nursalim.Pada 20 Agustus 1998, PT BDNI dinyatakan sebagai bank beku operasi (BBO), berdasarkan Keputusan BPPN Nomor 43/BPPN/1998 tentang Pembekuan PT BDNI dalam Rangka Program Penyehatan Perbankan Nasional, karena PT BDNI tidak dapat melakukan kewajibannya dalam pengembalian kredit.Berdasarkan hasil perhitungan ulang yang dilakukan oleh Erns & Young terdapat kekurangan kewajiban pemegang saham senilai Rp4,758 triliun.
ICW Pertanyakan Kembali Kasus BLBI Terhenti pada Urip
Jumat, 16 Oktober 2009 11:29 WIB Peristiwa Hukum/Kriminal Dibaca 487 kali
Peneliti ICW Febri Diansyah (ANTARA)
Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan kembali kasus suap terkait penanganan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang hanya berhenti sampai Urip Tri Gunawan dan Arthalita Suryani alias Ayin."Memang sangat aneh jika kasus tersebut berhenti sampai di dua orang ini saja," kata peneliti ICW, Febri Diansyah, di Jakarta, Jumat.Seperti diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semasa dipegang Antasari Azhar, berhasil mengungkap praktik suap Urip Tri Gunawan yang saat itu menjabat sebagai jaksa dari Ayin senilai 660 ribu dollar AS.Dalam persidangan pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasruddin Zulkarnaen, Antasari Azhar yang menjadi terdakwa, menyatakan, pejabat Kejaksaan Agung (Kejagung) bisa saja diseret ke pengadilan, dalam kasus suap Jaksa Urip Tri Gunawan kalau hanya mengandalkan satu alat bukti saja.Dalam eksepsinya, Antasari menambahkan namun dirinya bersama jajaran KPK lainnya, tidak berniat untuk mendudukkan pejabat kejaksaan sebagai terdakwa.Febri Diansyah menambahkan padahal sejumlah fakta persidangan mengindikasikan kemungkinan perkara suap tersebut dikembangkan. "Baik ke sejumlah petinggi Kejagung ataupun BLBI-BDNI," katanya. Dikatakan, tentunya yang menjadi pertanyaan terkait eksepsi Antasari Azhar itu, apakah posisi Antasari Ahzar saat itu mempengaruhi dalam penanganan perkara atau tidak."Pengaruh Antasari Azhar dalam penanganan perkara suap itu, perlu ditelusuri," katanya.Di bagian lain, ia menyatakan ada atau tidak adanya keterangan Antasari Azhar dalam eksepsinya itu, tiga Plt pimpinan KPK harus memeriksa kembali kasus BLBI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar